Marhaban Ya
Syahru Ramadhan
Marhaban
Syahrushiyaam…
Terdengar olehku suara Aji bersama
teman-temannya yang sedang berlomba nasyid dalam rangka penyambutan bulan suci
Ramadhan. Suara Aji yang paling dominan di antara mereka, walaupun aku tak
melihat secara langsung penampilan putra tunggalku bersama teman-temannya itu,
namun aku cukup merasa terhibur dan bangga karenanya.
“Ran, itu Aji anakmu ya? Bagus
sekali suaranya.” Puji Rasta, rekan kerjaku sebagai kuli bangunan. Aku hanya
tersenyum simpul mendengarnya, sudah banyak yang berkata seperti itu. Aji
memang memiliki suara yang khas dan lembut, suaranya mampu mendamaikan hati
bagi siapa saja yang mendengarnya.
Aji Arwilah nama lengkapnya, bocah berumur 7
tahun yang sudah tidak lagi mendapat kasih sayang dari seorang ibu sejak umur 3
tahun. Ibu Aji yang masih berstatus istriku mencoba mencari peruntungan di negeri
orang, Saudi Arabia lebih tepatnya. Tapi sampai sekarang ia tak ada kabar
berita. Tak pernah lagi ia mengirimkan uang atau sekedar berkirim surat ke
Indonesia, tercatat sejak bulan ke 7 ia bekerja di sana sebagai TKI. Sampai
sekarang Aji kecil masih selalu bertanya padaku tentang ibunya, kadang aku
sendiri sampai harus berbohong demi menyenangkan hati Aji. Aku selalu berdoa
pada Allah agar Aji diberikan yang terbaik dalam hidupnya karena aku sangat
menyayangi Aji lebih dari apapun di dunia ini.
***
“Aji, mau sampai kapan menunggu ibu pulang?
Ayo masuk.” Ajakku pada Aji yang sedang duduk di serambi depan sambil menenteng
pialanya, ia menang juara 1 pada perlombaan nasyid tadi siang. Aji tetap
menggeleng tanda tak mau. Begitulah setiap sore, Aji akan selalu duduk di serambi
depan hanya untuk menunggu ibunya pulang. Usaha yang sudah dapat kupastikan
akan berujung sia-sia karena ibunya tak mungkin akan kembali lagi.
“Aji belum shalat Maghrib? Ayo
shalat dulu.” Aji bangun dan masuk kerumah. Seperti itulah Aji jika masalah
agama, walaupun umurnya masih terbilang sangat kecil tapi jika sudah menyangkut
urusan tersebut ia tak mau sampai tertinggal. Aku bersyukur Aji sangat getol
mempelajari agama pada ustadz di desaku, mengingat pelajaran agama yang kudapat
sangat minim. Aku belum terlalu fasih membaca Al-Qur’an dan biasanya Ajilah
yang mengajariku, sungguh aku sangat bangga memiliki anak seperti dia.
“Ayah, nanti malam bangunkan Aji
sahur ya Aji mau ikut puasa.” Subhanallah.. disaat teman-teman sebayanya yang
masih belum mau untuk ikut berpuasa ia malah mengajukan diri untuk berpuasa.
Sebenarnya aku ingin mengajaknya berpuasa demi mengurangi jatah jajan Aji
tetapi Alhamdulillah Aji sendiri sadar ingin berpuasa. Dan inilah kali pertama
Aji ikut berpuasa Ramadhan.
“Iya nak..”
***
Hari pertama puasa, sekolah Aji
diliburkan untuk memperingati bulan suci ini. Hari ini pun aku sedang tidak
bekerja karena sang pemilik bangunan sedang keluar kota. Hari kosong ini
kumanfaatkan untuk belajar membaca Al-Qur’an, oh.. tidak bahkan aku belum
sampai jenjang membaca Al-Qur’an aku masih sampai tahap membaca Iqro’ jild 6.
“Minal immanan watajida..”
“Ayah bacanya jangan immanan
watajida, ini bacaan idgham bighunnah, tanwan bertemu dengan wawu. Seperti yang
sudah Aji ajarkan minggu lalu yah..” Oalah.. lihat betapa pintarnya Aji, dan ya
aku ingat sekarang bacaan idgham bigunnah yang sudah Aji ajarkan minggu lalu,
aku tersenyum lalu cepat-cepat memperbaikinya.
“Minal immanawwatajida..”
Sudah jam 11 siang, itu tandanya
sudah 3 jam aku belajar membaca Iqro’ bersama Aji dan sekarang Aji pamit padaku
untuk pergi ke Musholla dekat rumah. Baru ketika selesai shalat Ashar ia pulang
ke rumah. Melihat anak-anak lainnya yang selalu dimanjakan ketika berbuka puasa,
aku pun juga ingin memanjakan Aji.
“Ji.. mau makan pakai lauk apa? Mau
es buah?” tanyaku pada Aji walaupun aku sadar kantungku sangat tipis untuk
diambil isinya.
“Tidak yah, hehe Aji mau makanan
yang murah saja yah.” Aku tersenyum tipis betapa aku bersyukur mempunyai anak
seperti Aji.
***
Hari demi hari terlewati dan ini
merupakan hari kelima di bulan Ramadhan sedangkan aku masih belum mulai bekerja
lagi dikarenakan sang pemilik bangunan masih berada di luar kota dan baru
kembali nanti siang. Aku merogoh kantung celanaku berharap ada uang yang
tersisa namun nihil. Aku tak mendapati lembaran rupiah dan yang kudapati
hanyalah selogam koin bernominal lima ratus rupiah dan dua logam koin
bernominal dua ratus rupiah, sungguh miris sekali. Aku melirik kearah Aji yang
masih tertidur pulas, lebih baik aku kembali tidur dan berpura-pura lupa akan
sahur.
“Ayah.. bangun yah. Sebentar lagi
imsyak.” Teriak Aji setengah jam sesudah aku kembali terlentang di tempat
tidur.
“Oh, iya sebentar nak.” Aku berlalu
menuju dapur menatap nanar pada uang recehku dan berpura-pura keluar untuk
mencari makan.
“Ayah mengapa baru pulang? Imsyak
sudah setengah jam yang lalu.” Tanya Aji sekembalinya aku kerumah.
“Maaf ji, ayah mencari makan tapi
hari ini banyak yang tidak berjualan.” Ucapku berbohong.
“Tidak apa-apa yah, Aji tetap
puasa.” Ucap Aji. Sebenarnya aku mengharapkan Aji agar tidak berpuasa hari ini,
toh nanti siang aku kembali bekerja dan pasti aku akan mendapat uang untuk
makan Aji. Tapi ya sudahlah Aji keras kepala tentang urusan agama.
***
Pedih. Satu kata yang tepat untukku
ketika melihat tubuh mungil Aji harus mengangkat batu-batu itu. Hari ini ia
ikut aku untuk membantu bekerja sebagai kuli bangunan. Aku takut ia tidak kuat
menghadapi teriknya matahari siang ini dan terjalnya bebatuan itu, mengingat ia
masih keukeh untuk berpuasa.
“Aji pulang saja nak, Aji kan
puasa.” Ucapku lembut sambil menepuk pundak Aji tapi Aji tetap menggeleng tanda
tak mau. “Ji, ayah terima surat dari ibu kemarin. Katanya ibu akan pulang dalam
beberapa hari ini, Aji lebih baik pulang mungkin saja ibu pulangnya hari ini.
Tunggu ibu saja di rumah ya.” Ucapku lagi dengan kebohongan dan penyesalan
dalam dada, tapi melihat binar ceria di mata Aji aku seperti tersihir ikut
senang. Kebahagiaan Aji adalah seribu kali kebahagiaanku.
***
Hari ini aku pulang lebih awal dari
biasanya, aku yakin Aji sedang menungguku di serambi depan. Sambil menenteng
bungkusan berisi nasi dan lauk ayam kecap kesukaan Aji, aku berjalan riang.
Hari ini aku sengaja membelikan makanan istimewa untuknya. Setibanya di rumah,
kulihat rumahku kosong tapi aku tidak memiliki prasangka buruk sama sekali aku
malah mengira Aji sedang di musholla dekat rumahku. Akupun menunggu Aji pulang
sambil membaca koran harian yang kudapat dari mandorku.
“Ran, katanya istrimu hari ini
pulang ya? Mana dia?” Tanya Rasta temanku yang sedang berjalan lewat di depan
rumah.
“Kata siapa? Haha.” Menurutku itu
adalah pertanyaan bodoh, istriku tidak mungkin secara tiba-tiba bisa pulang dan
ingat anak-suaminya.
“Lah, kata Aji anakmu. Dia sampai
menyusul ke bandara.” Aku langsung tersadar, Aji. Mana anakku? Benarkah ia
menyusul ke bandara? Aku tak bisa berfikir lagi, keadaanku sangat kalap waktu
itu dan segera kuberlari menyusul Aji ke bandara. Tuhan.. selamatkanlah Aji
pintaku di tengah rasa khawatir yang menyelimuti hati dan fikiranku saat ini.
Empatpuluh lima menit kemudian aku
sampai di bandara, langit sudah petang dan adzan Maghrib pun sudah tigapuluh
menit yang lalu dikumandangkan tapi aku belum menemukan sosok Aji. Aku dan
Rasta berpencar mencari Aji berharap kami dapat menemukannya dengan keadaan
baik-baik saja.
Sudah satu jam kami mencari Aji,
namun ia masih belum ditemukan. Aku mengitari pelataran bandara yang mulai
lengang, dan.. Astaghfirullah…
“Aji!!!” Aku berteriak memanggil
sesosok yang sedang terlentang di pinggir jalan, tangannya tersampir memegangi
bagian perutnya sedangkan wajahnya pucat sepucat mayat. Sosok mungil itu tetap
tak menjawab dan ketika kurasakan detak jantungnya yang sudah tak lagi
menampilkan secercah harapan kehidupan, aku seperti terhantam batu-batu terjal
yang setiap hari kupikul, sakit rasanya. Ribuan godam yang seakan memukulku,
pedih rasanya.
Ya
Rabb.. mengapa engkau berikan aku cobaan berat seperti ini, diselimuti rasa
bersalah karena kematian anakku sendiri..
Ya
Rabb ampunilah aku yang tak bisa menjaga amanahmu dengan baik, yang tak bisa
menjaga mutiara terindah yang pernah Engkau beri..
Ya
Rabb aku bersimpuh didepan-Mu, memintakan ampun untukku dan Aji anakku,
terimalah Ia di kerajaan sorgamu..
Aji anakku.. maafkan ayah yang
belum bisa menjadi ayah terbaik bagi Aji, maafkan ayah atas semua yang kau rasa
bersama ayah.. Maafkan kebohongan ayah yang membuatmu celaka, maafkan Ayah,
maafkan Ayah Aji.. Pergilah nak, di sana engkau akan jauh merasa lebih baik
dari pada hidup bersama ayah di sini yang hidupnya dipenuhi kesusahan,
terimakasih telah menjadi mutiara terindah yang tak ternilai harganya dan
kaulah harta termahal yang ayah punya.
Selamat Jalan Aji Arwilah anakku tersayang..
Cerpen oleh Anisa
Keren, itu kamu bisa nulis Cerpen.. Epri aja belum tentu bisa.. Semangat..
ReplyDeleteehehe itukan jaman sma bung makasih hahah jadi terharuuuw😂
ReplyDelete