Suara
dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh
subversif dan mengganggu keamanan
Maka
hanya ada satu kata: Lawan!
(Wiji
Thukul, 1986)
Sebait puisi di atas merupakan penggalan dari puisi
yang berjudul ‘Peringatan’ karya seorang aktivis dan pejuang HAM terkenal, Wiji
Thukul. Saya rasa nama tersebut sangatlah terpatri betul bagi kawan-kawan
aktivis mahasiswa. Tapi di sini saya tidak ingin mengulas tentang sosoknya yang
pada 26 Agustus kemarin berulangtahun ke-53, walaupun entah di mana batang
hidungnya berada. Tidak. Tidak sama
sekali.
Saya tiba-tiba teringat puisi ini ketika iseng stalking sebuah akun official instagram
dari Panitia PKKMB Unswagati 2016 yang memiliki nama pengguna
@pkkmbunswagati1617. Pada sebuah foto dalam akun tersebut, banyak komentar
berisi kritik berjatuhan. Namun sayangnya, komentar-komentar tersebut tiba-tiba
raib begitu saja, hilang dihapus adminnya. Saya bingung bukan main, di mana
unsur demokratisnya?
Mahasiswa-mahasiswa yang merasa kehilangan teriakan
kritikannya dalam kolom komentar ternyata tidak tinggal diam. Sama seperti
saya, mereka pun mempertanyakan demokrasi macam apa yang sedang terjadi.
Jawaban dari pihak admin dan mahasiswa lainnya pun mengecewakan bagi saya.
Menurut mereka, akun official tersebut lebih baiknya difokuskan sebagai
informasi bagi mahasiswa baru. Agak geli untuk saya ketika membacanya. Kita
sedang menginjak bumi Indonesia yang katanya menjunjung tinggi kebebasan
berpendapat, lagi pula media sosial ini memang dijadikan salah satu forum
menyampaikan pendapat maupun kritik.
Mengenai alasan penghapusan komentar kritikan dari
mahasiswa pun adalah untuk menghindari provokasi karena menurut salah satu
mahasiswa yang ikut nimbrung
berkomentar katanya ketika ada komentar atau kritik yang bertujuan untuk
menghancurkan lembaga atau kepanitiaan PKKMB lebih baik dihapuskan saja. Saya
dibuat geleng-geleng kepala karenanya. Sedangkal itukah pemikiran dari
mahasiswa yang katanya berintelektual? Saya bukan sedang meremehkan, hanya saja
tolonglah
jangan terlalu cetek untuk menilai bahwa setiap kritikan yang masuk
dianggap untuk menghancurkan.
Kalau ditilik lebih dalam dari beberapa sudut pandang,
kritik yang datang bisa sangat membangun sebenarnya. Toh, ini untuk kepentingan
dan kenyamanan bersama. Seharusnya, dengan adanya kritikan yang datang
menjadikan pihak terkait untuk berbenah. Di zaman kemunduran mahasiswa ini,
selayaknya kita bersyukur ketika masih ada yang peduli memberikan kritikan,
karena hal tersebut lebih berarti dibanding mereka yang apatis dengan
lingkungannya.
Menjadi panitia PKKMB seharusnya dapat dijadikan
sebagai proses pembelajaran dan untuk menambah pengalaman. Ketika ada kritikan
yang masuk, tidak semestinya dihapus dengan dalih menghindari provokasi. Itu
namanya, pembungkaman dan sudah seharusnya untuk dilawan!
Manusia tidak ada yang sempurna, katanya. Memang
benar, semua orang sudah tahu tanpa diberitahu. Tapi kritikan ini diberikan
agar ada evaluasi yang harapannya akan segera dilakukan pembenahan. Kalau
maunya dipuji dan diagungkan saja, tidak usah jadi manusia, jadi Tuhan saja
Yang Maha Benar.
Bukankah begitu pas ketika saya melampirkan sebait
puisi ‘Peringatan’ di sudut paling atas tulisan ini? Di sini saya sedang
melawan. Bukan dengan golok, samurai atau meriam, tapi dengan tulisan. Cara
yang menurut saya lebih elegan. Untuk terakhir, saya hanya ingin melampirkan
kutipan yang sengaja saya ganti subjeknya dari sosok panutan mahasiswa
Indonesia di mana pun berada, Soe Hok Gie: Orang yang tak tahan kritik boleh masuk
keranjang sampah.
Semoga tulisan abal-abal ini bisa dibaca oleh yang
bersangkutan. Saya dengan lapang dada akan menerima kalau ada kritikan untuk
tulisan ini. Mungkin bisa dibalas dengan tulisan lagi, kirim saja ke
setaranews.com melalui emailnya lpm.setara@gmil.com.
Atau kalau mau lebih greget, bisa ajak saya diskusi sambil ngopi. Hehe. Mohon
maaf sebelumnya, saya hanya ingin melawan bukan mencari musuh. Salam mahasiswa!
Salam damai!
Penulis Anisa Arwilah (Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi Unswagati)
*Tulisan ini sebelumnya sudah diterbitkan di SetaraNews dengan judul yang sama.