Adalah Kata-kata
Yang memberi bentuk pada sesuatu
yang masuk
Dan keluar dari diri kita
Adalah kata-kata yang menjadi
jembatan untuk menyeberang ke tempat lain
Ketika kita diam, kita akan tetap
sendirian
Berbicara, kita mengobati rasa sakit
Berbicara kita membangun
persahabatan dengan yang lain
Para penguasa menggunakan kata-kata
untuk menata imperium diam
Kita menggunakan kata-kata untuk
memperbaharui diri kita
Inilah senjata kita
saudara-saudaraku
(Kata
adalah senjata, Subcomandante Marcos)
Kata-kata
tidak hanya berupa deretan huruf yang dirangkai lalu digabungkan menjadi satu
membentuk kalimat. Tidak. Lebih dari itu, kata-kata memiliki kekuatan magis
yang dapat mengguncang dunia. Tidak percaya? Tengok saja bagaimana arek-arek
Surabaya begitu bergelora dalam melakukan perlawan pada Pertempuran 10 November
1945 setelah mendengar orasi dari Bung Tomo kala itu. Melalui radio, beliau menyuarakan
kata-kata perjuangannya membuat pejuang tak lagi gentar menghadapi lawan. Ya.
Kata adalah senjata, begitu ibaratnya.
Begitu
besarnya kekuatan kata-kata nampaknya juga disadari oleh para penyebar berita
hoax. Kalau dulu kata-kata digunakan sebagai lecutan semangat dalam perlawanan,
kini kata-kata dijadikan alat pemicu peperangan. Begitu banyak kata-kata yang
terangkai membentuk suatu kalimat menjelma informasi yang kebenarannya tidak
dapat dipertanggungjawabkan bertebaran entah itu di media sosial maupun di
media-media yang tidak kredibel, menjadi sumber awal mula pertikaian terjadi. Parahnya,
berita yang mengandung informasi hoax merupakan berita yang cepat penyebarannya.
Layaknya wabah penyakit menular.
Pengguna
media sosial begitu riuh berlomba-lomba membuat dan membagikan informasi, entah
ingin terlihat serba tahu sehingga bisa mengesankan banyak orang atau pure mewartakan kebenaran. Yang jelas,
begitu gempitanya informasi yang beredar tidak menjamin kebenaran isinya.
Sebenarnya
tidak semua berita hoax menjadi bom peperangan, meski memang kebanyakan berita
palsu tersebut berisi hujatan dan penuh ujaran kebencian. Ada pula berita hoax
dengan tujuan ‘baik’, seperti kata pepatah berbohong demi kebaikan.
Penulis
sempat menangkap berita hoax beredar di media sosial mengenai pemakluman dalam
video viral berisi siswa SD yang salah menyebut jenis ikan di depan Jokowi,
menurut kabar yang beredar siswa SD tersebut mengidap Dyslexia dan kisah lain mengenai anak tersebut yang katanya juga
merupakan yatim piatu. Usut punya usut, nyatanya itu hanya hoax. Berita palsu
tersebut mungkin disebar dengan tujuan mulia, yakni membela si anak agar
masyarakat tidak lagi melakukan pem-bully-an
terhadapnya. Bagaimanapun juga, mem-bully
memang tindakan yang tidak patut dilakukan karena akan berimbas pada
perkembangan mental si anak. Tapi, perlukah membuat informasi palsu hanya untuk
melakukan pembelaan kepada anak tersebut? Perlukah membohongi banyak orang
hanya agar mereka tidak lagi mem-bully
anak tersebut? Pada kasus berita hoax yang disebutkan tadi ibaratnya, senjata
yang dalam hal ini adalah kata-kata dipakai untuk menjerumuskan kawan sendiri,
ia sudah seperti musuh dalam selimut. Berniat baik namun sebenarnya
menyesatkan.
Tujuan
baik atau buruk, kebohongan tetap kebohongan. Entah untuk alasan apapun
kebohongan dibuat, sudah mutlak itu salah. Ada yang bilang, jujur lebih baik
meski itu menyakitkan. Penulis sepakat mengenai itu. Berbohong demi kebaikan
dan tujuan mulia saja, sudah nyata tidak layak dilakukan apalagi berbohong
untuk memicu perselisihan. Ini jelas harus diberantas. Untuk menelusuri siapa
awal mula yang menyebarkan berita hoax, sudah pasti akan sulit dilakukan.
Terlebih jika penyebarannya dilakukan melalui pesan berantai, broadcast. Namun pemberantasan berita
hoax dapat dilakukan dengan mengedukasi pembaca.
Pengguna
internet di Indonesia yang kebanyakan merupakan kelas menengah ke atas harus
memiliki sikap kritis terhadap berita apapun yang beredar. Tidak asal
memercayai sumber yang kredibilitasnya pun masih dipertanyakan. Untuk tidak
mudah terprovokasi dengan judul tanpa membaca isinya dengan tuntas dan selalu
mengecek kebenaran informasi yang ada.
Sekarang
ini sudah ada kesadaran masyarakat dalam memerangi berita hoax. Layanan untuk
memerangi hoax sudah dikembangkan oleh pengembang aplikasi yang tergabung dalam
suatu komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia dengan diberi nama Turn Back
Hoax. Adanya layanan tersebut penulis kira dapat mengecilkan angka penyebaran
berita hoax. Dengan memerangi berita hoax bersama-sama akan membuat berita hoax
yang sudah tersebar menjadi tidak laku dan penyebarnya tidak akan mendapat
keuntungan. Imbasnya, kemungkinan para penyebar berita hoax sendiri akan jengah
ketika beritanya tidak lagi menjadi konsumsi publik dan diharapkan
berita-berita tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Senjata
yang kini sudah disalahgunakan, semoga akan kembali dipakai sebagai alat
perlawanan, bukan pemicu perselisihan pun sumber pertikaian. Senjata yang dulu
sebagai pengobar api semangat melawan yang tiran, semoga tak lagi berisi
olok-olokan penebar kebencian. Semoga.
*Tulisan yang pernah dijadikan sebagai salah satu persyaratan mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional