Sunday 31 July 2016

Surat Cinta (1)



Hai kamu, pemilik senyum semanis senja. Apa kabar?
Jangan khawatir, semoga ini menjadi surat cintaku yang terakhir. Aku harap kekasihmu tidak marah kalau dia ikut membacanya.
Sudah lama aku tidak bercerita kepadamu. Hal yang mungkin hampir tiap hari aku lakukan kalau saja kamu tidak selalu menghilang karena sibuk. Aku ingin cerita tentang gagang cawan mimpiku yang patah, tentang genangan rindu pada bibir cangkir kopiku yang pecah dan tentang apa saja yang membuatku sekarat hingga hampir tamat. Aku tidak ingin mengumbar kesedihan, hanya saja tiap lembar tisu yang basah di kamarku selalu meneriakkan namamu. Mereka tidak suka menjadi berguna. Mereka lebih rela tetap kering dan pada tempatnya daripada menjadi bermanfaat untuk air mataku yang lebat dan ingusku yang pekat. Ah... bahkan tembok pun makin menjadi dingin dan kaku kala aku masih saja membisikkan namamu.

Hai kamu, pemilik alis bulan sabit. Sedang apa di sana?
Tanpa aku mencari tahu kabarmu, sudah ada mereka yang memberitahuku. Baik ya, temen-teman kita? Hahaha. Mereka mengirimiku apa saja. Tentang status di akun media sosialmu, tentang kiriman kekasihmu di akun media sosialnya, tentang...semuanya yang berkaitan dengan kalian. Aku terharu sekaligus tergugu. Secepat itu kamu melupakanku? Sekeras apa kekuatanmu hingga dapat mematahkan gagang cawan mimpi kita? Segigih itukah, hingga terkamannya yang pertama sanggup memecahkan bibir cangkir kopiku? Aku... dibuatnya kelu.

Kamu masih ingat mimpiku? Aku pernah menceritakannya, tentang kita yang berpisah dan kamu yang membawa kekasih barumu pada teman-teman kita. Dulu kamu bilang itu hanya mimpi, hanya bunga tidur yang tidak mungkin mekar. Apakah sekarang aku boleh menganggap kalau malam itu - malam di mana kamu membawa kekasihmu pada teman-teman kita,  hanyalah mimpi? Karena aku ingin segera bangun dan tidak akan pergi tidur lagi.
Kalau saja kamu tidak lupa, kita punya agenda kencan setelah ujian. Bukankah sekarang kita telah melewatinya? Kamu berjanji mengajakku ke tempat yang pernah kamu kunjungi bersama keluargamu. Suasananya asik, katamu. Apakah akan tetap asik kalau aku ke sana seorang diri, ataukah kamu yang ke sana bersama orang lain?

Aku tidak tahu rasanya jatuh tanpa ada yang menangkap sebelum kamu datang dan menunjukannya. Terima kasih, telah mengenalkanku pada luka. Titip salam kepada belati yang kamu pakai untuk mengiris hatiku, bilang padanya aku masih terlalu kuat walau telah disayat. Terima kasih kamu, lelaki yang sedang aku rindu.





 Perempuan yang menyayangimu tanpa jeda