Thursday 15 March 2012

is it love?

Kabut tipis masih tergantung menghiasi langit kota Yogyakarta siang ini, kota yang selalu memberi kesan berbeda untuk Cakka. Memori indahnya bersama keluarga yang bahagia, tetapi kenyataan merubahnya menjadi cerita yang hanya tinggal kisah .
                Masih jelas dalam ingatan Cakka kejadian 2 hari yang lalu, kejadian yang membuatnya sekarang hendak meninggalkan kota Yogyakarta menuju kota Bandung menyusul sang ayah. Ia memergoki ibunya sendiri sedang bermesraan dengan pria lain. Betapa terpukulnya Cakka kala itu. Ternyata kabar burung yang ia dengar melalui tante-tantenya tak salah. Ia sudah melihat sendiri betapa memalukannya kelakuan sang ibu yang selalu ia bela itu.
                Sudah hamper 1 jam ia melewati jalanan Yogya ini, masih terlalu lama lagi untuk sampai ke kota kembang itu. Ia menyalakan musik dari tape mobilnya keras-keras agar dapat membantu meluapkan emosinya yang sedang membara ketika mengingat sang ibunya itu.
***
14 Februari, hari yang mungkin ditunggu-tunggu sebagian besar kaum remaja. Hari dimana mereka saling bertukar kado atau cokelat untuk merayakan hari kasih sayang atau biasa mereka sebut valentine itu. Pagi ini dikelas X-3 SMA Veritas Bandung terlihat sangat gaduh dan riuh, banyak siswa laki-laki yang berjejal dikelas tersebut. Mereka bukanlah penunggu kelas X-3, kebanyakan mereka dari kelas XI yang hanya ingin mencari perhatian dari sang putri idaman SMA Veritas, Ashilla Zahrantiara. Walau masih junior nama Shilla sudah tak asing lagi bagi warga Veritas, dari mulai satpam, ibu-ibu kantin hingga Ibu Diana sang guru kimia yang terkenal killer seantero Veritas. Shilla memang siswi sensasional, ia adalah murid cerdas tapi kelakuannya sudah tak bisa masuk di akal. Berkali-kali ia dipanggil BK, namun tak juga ia merubah kelakuan bengalnya. Tapi walaupun bengal, Shilla memiliki wajah yang cantik yang bisa menarik perhatian cowok-cowok di Veritas. Jadi tidaklah heran jika hari ini kelasnya ramai didatangi cowok-cowok yang ingin memberinya cokelat atau kado atau juga hanya memberi ucapan selamat valentine.
“Enak banget ya jadi Shilla, banyak banget yang kasih kado dan ucapin valentine ke dia. Aku aja yang ulang tahun ndak dikasih toh.” Cibir Sivia dengan gaya khas medok jawanya.
“Hah?? Kamu ulang tahun vi. Oh maaf ya, hehe selamat ulang tahun.” Febby yang sedari tadi bengong melihati Shilla terlonjak juga dengan pengakuan Sivia tadi.
Lain Shilla, lain juga pada Sivia. Gadis ini berbanding terbalik dengan Shilla 180 derajat. Sivia adalah gadis pindahan dari Surakarta yang tidak terlalu popular, jangankan satu sekolah teman sekelasnya saja mungkin ada yang tidak mengenal gadis ini. Jadi, sangatlah ajaib ketika Shilla ingat akan ulang tahun Sivia.
“Hey guys, jangan Cuma ucapin happy valentine atau kasih kado ke gue aja dong. Hari ini juga ada yang ulang tahun soalnya.” Teriak Shilla didepan kelas sambil sesekali masih sibuk meladeni cowok-cowok yang berebut mencari perhatian Shilla.
“Siapa?” Tanya orang-orang yang sedang berada dikelas  X-3 itu hampir serempak. Sambil beberapa siswa mencoba menebak-nebak siapa orang yang dimaksud Shilla, ada juga yang menebak Ifylah yang ulang tahun sahabat Shilla yang paling dekat.
“S-I-V-I-A SIVIA.” Teriak Shilla mengeja nama Sivia. Sivia yang mendengar namanya disebut oleh sang putripun terlonjak kaget dan tidak menyangka kalau Shilla ingat bahkan tau ulang tahunnya.
“Sivia siapa? Nama kucing lo Shil?” celetuk salah seorang cowok yang langsung dibalas tatapan sinis oleh Shilla.
“Sivia itu teman sekelas gue! Tuh..” Tunjuk Shilla pada sesosok siswi yang duduk dipojokan yang langsung disambut cengiran kuda khasnya.
“iyeuh, daripada kasih ke dia mending gue bawa pulang lagi aja deh.” Ujar salah satu cowok yang ikut berebut mencari perhatian Shilla tadi dan langsung ditanggapi ungkapan setuju oleh cowok-cowok lainnya, kemudian mereka melesat pergi menuju kelas masing-masing setelah mendengar bel tanda masuk dibunyikan.
***
                Cakka mendengus kesal ketika ia menyadari sudah hampir 1 jam ia terjebak kemacetan di Bandung. Jalanan dikota Bandung ini hampir sama seperti dikota Jakarta suasana macetnya. Disela-sela rasa kesalnya ingatan Cakka melayang kembali ketika dulu ia masih kecil, ketika keluarganya masih utuh dan harmonis mereka melewati jalanan yang sama tapi dulu masih teramat lengang. Suasana hangatnya keluarga penuh canda tawa menghiasi keluarga bahagia yang sekarang hanya tinggal kenangan.
Tin…tin.. suara klakson mobil membuyarkan lamunan Cakka, ternyata mobil-mobil yang ada didepannya sudah mulai bergerak menjauh. Cakkapun mulai memajukan mobilnya dan melajukannya dengan sangat kencang.
Tidak kurang dari 15 menit Cakka sampai dirumah yang terbilang luas dan mewah, memasuki halaman rumah tersebut Cakka merasa dadanya sesak dan bergemuruh, wajahnya terlihat sangat tegang tapi sepersekian detik kemudian wajahnya berubah menjadi lebih santai melihat sapaan ramah dari satpam penjaga rumah tersebut.
Seturunnya dari mobil ia melihat seseorang yang sangat familiar dengan seuntai Koran menutupi sebahagian mukanya hingga yang terlihat hanya matanya yang berbingkai kacamata berframenya saja itu. Orang tersebut sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyeruput teh manis yang telah tersedia dimeja tepat dihadapannya. Ketika menyadari kehadiran orang lain dirumahnya, sang pemilik rumah itupun langsung mendongakkan kepalanya dan berkata pelan hampir tak terdengar.
“Cakka?”
***
“Feb, aku lapar. Kita kewarung yuk.” Ajak Sivia pada Febby sambil mengelus-elus perutnya.
“Kantin maksudmu? Yaudah yuk.” Febby membereskan buku-bukunya yang berceceran diatas meja dan langsung menyusul Sivia yang sudah lebih dulu berjalan.
“Eh, Via mau kemana kamu?” Tanya Febby ketika melihat arah Sivia berjalan ternyata salah.
“Kantin.” Jawab Sivia enteng tanpa mempedulikan Febby.
Dasar orang udik batin Febby.
“Kantin bukan kesitu tapi kesini.” Ujar Febby kesal, Siviapun spontan langsung berhenti dan kemudian berbalik arah.
“Oh ya ya. Maaf aku ndak tau toh.” Sivia cengengesan melihat raut Febby yang kesal karena dirinya.
Kalau gak tau mending gak usah sok tau lagi-lagi Febby hanya membatin dan tidak berani mengucapkannya.
Setibanya dikantin Sivia langsung memesan banyak sekali makanan, sedangkan Febby hanya memesan siomay dan es teh manis saja karena ia sadar akan kondisi keuangannya akhir-akhir ini. Setelah memesan makanan mereka mencari tempat duduk yang kosong untuk menunggu makanan mereka datang. Setelah 3 menit menunggu ternyata pesanan mereka tak kunjung datang juga, karena kesal Siviapun berteriak memanggil sang pelayan.
“Mba, lama amat sih. Aku ndak tahan ini, laper mbak!” Sivia berteriak-teriak memanggil dengan suara kencangnya yang menyeruak diseisi kantin. Orang-orang yang sedang berada dikantinpun kontan langsung menoleh melihat kearah Sivia dan Febby. Febby yang tidak terbiasa diperhatikan langsung menunduk menahan rasa malunya dan berusaha menenangkan Sivia.
“Udah Vi, malu diliatin anak-anak.” Sivia tetap acuh akan gelagat Febby yang sedang berusaha menenangkan dirinya. Tidak beberapa lama kemudian pelayanpun datang membawakan pesanan mereka, dengan sigap Sivia langsung menyantap makanannya begitupula dengan Febby. Karena makanan Sivia banyak, ia jadi lebih lama makannya dan membuat Febby menunggu. Karena sudah terlalu lama menunggu, Febby akhirnya buka mulut juga.
“Yah Vi, kamu lama amat. Aku mau bayar duluan ya.”
“Yaudah Feb, aku sekalian nitip toh. Nih..” Sivia memberikan uang selembaran bernilai sepuluh ribu kepada Febby. Yang diberi uangpun hanya terbengong melihati uang yang diberi oleh Sivia.
“Kenapa Feb? kebanyakan ya, yaudah deh ambil aja kembaliannya.” Cetus Sivia dengan polosnya memasang muka tanpa dosa.
Parah ya sivia makan sebanyak ini Cuma ngasih sepuluh ribu, mana minta kembalian lagi. Gerutu Febby yang lagi-lagi hanya berani dalam hati.
“Makanan sebanyak itu sepertinya habis limapuluh ribuan deh vi.” Celetuk Febby memberanikan diri. Sivia yang kaget mendengar penjelasan Febbypun langsung tersedak dan tanpa sengaja baso yang baru saja ia kunyah tersembur kedepan mengenai Alvin yang sedang berjalan tepat didepan Sivia. Seisi kantinpun kembali memperhatikan mereka sambil berusaha menebak-nebak apa yang akan terjadi kemudian.
***
“Apa kamu berubah pikiran? Apa alasannya? Pasti kamu sudah melihat sendiri kelakuan mamamu itu kan.” Rentetan pertanyaanpun keluar dari mulut Agam, papa Cakka yang sedang menginterogasi sang anak layaknya Cakka baru saja melakukan tindakan yang salah dan sangat fatal.
“Maaf pa, Cakka sekarang percaya sama papa. Cakka mau ikut sama papa.” Ujar Cakka ragu namun penuh kepastian, kepalanya sedari tadi hanya ditundukkan. Entah perasaan apa yang sedang dirasakan pemuda tampan ini. Sangat sulit membaca perasaan seseorang dengan hanya melihat raut wajah orang tersebut, karena terkadang kepolosan itu memang menipu.
“Harusnya sudah dari dulu kamu seperti ini. Tapi percayalah nak, rumah ini dan isinya akan selalu terbuka untukmu.” Agam melebarkan tangannya, membiarkan Cakka memeluknya dengan penuh kasih.
“Cakka sayang papa.” Bisik Cakka namun masih dapat terdengar.
“Papa lebih dari itu.” Balas Agam sambil terus memeluk putra semata wayangnya itu.
***
Diujung koridor kelas terlihat sepasang siswa yang sedang berjalan beriringan, dari raut keduanya terlihat mereka seperti sedang berdebat.
“Gabisa gitu toh, wong aku ndak sengaja nyembur baso itu. Lagian kepala kakak sudah aku bersihkan.” Bela salah seorang siswa tersebut yang ternyata adalah Sivia.
“Enak aja lo! Bukan Cuma semburan baso lo aja, tapi gue juga malu jadi bahan ketawaan anak kantin.” Sentak Alvin tak mau kalahnya beradu dengan Sivia.
“Ya tapi ndak setimpal toh, masa aku disuruh jadi asisten kakak selama 2 bulan.” Cibir Sivia masih tetap dengan nada tak mau kalahnya.
“Udah lo bawel! Kalo terus nawar gue tambahin jadi 3 bulan lo, mau?!” Bentak Alvin. Ajaib, Sivia yang memang tak pernah mau kalah itu mendadak menjadi diam menahan rasa kesalnya. Alvin yang melihat raut wajah Sivia yang sedikit memonyongkan bibirnya itupun terkekeh lucu dan tertawa penuh kemenangan.
***
Dipagi hari ketika daun-daun masih terasa basah oleh rintikan embun semalam yang sangat menyejukkan. Disuatu ruangan yang terletak diatas, bertenggerlah Cakka yang sudah siap dengan seragam barunya. Ia siap mengawali hari ini dengan ceria seperti dulu, hari ini merupakan hari pertamanya disekolah yang baru  jadi ia sengaja bangun sangat pagi karena ia tak mau merusak hari ini dengan kelalaiannya yang biasa terlambat bangun siang.
Tok..tok..tok.. suara pintu kamar yang terdengar diketuk dari luar, pelan-pelan Cakka membukanya. Ia langsung disuguhkan pemandangan luar biasa, senyuman dan sapaan khas dari seorang ayah kepada sang anak yang selalu ia rindukan. Terakhir kali ia mendapat perlakuan istimewa ini yaitu ketika keluarganya masih utuh dan masih sangat kokoh diterjang masalah dan itu terjadi 5 tahun yang lalu.
“Sudah siap? Papa sudah siapkan keperluanmu. Semuanya, jadi kamu tinggal berangkat sekolah dan masuk kekelas. Simpel bukan?” jelas sang ayah yang selalu menyimpelkan suatu permasalahan menjadi sesimpel-simpelnya.
“SMA Veritas, Sekolah terbaik se-kota Bandung.” Lanjut Agam sambil menuruni anak tangga berjalan beriringan dengan Cakka.
“Apa aku gak perlu ikut tes pa?” Tanya Cakka. Ia merasa sebegitu gampangnyakah ia masuk kesekolah yang katanya terbaik se-kota Bandung itu, padahal pihak sekolah belum tentu tahu mengenai kemampuan Cakka dan ia curiga pasti ada apa-apanya.
“Papa salah satu donator disekolah itu, jadi tenanglah.” Ujar sang papa meyakinkan sambil menarik seulas senyumnya.
“Iya pa, Cakka ngerti.” Angguk Cakka, walaupun dalam hati ia tidak suka dengan cara ayahnya yang mentang-mentang sebagai donatur sekolah itu. Walau bagaimanapun juga Cakka tidak mau direndahkan kualitasnya dengan tidak mengikuti tes. Tapi apa boleh buat, kemauan ayahnya sangat tidak mungkin ia tolak.
***
“Gimana sih pak? Tadi pagi gak di cek dulu ya!” bentak Shilla kepada supirnya. Mobil yang biasa membawa Shilla itu ternyata mogok dijalan, padahal sekolah Shilla masih jauh dari tempat itu. Dan parahnya lagi jarang ada taxi yang lewat dijalan itu.
“Maaf mba, tapi sepertinya mobil ini harus dibawa kebengkel.” Lapor pak Andi, supir Shilla.
“Apa?! Terus aku kesekolah naik apa? Aaargh!” keluh Shilla sambil melirik jam yang melingkar manis ditangannya. Tapi, tunggu dulu dari kejauhan Shilla melihat seperti ada siswa yang memakai badge yang sama dengan dirinya menandakan ia juga dari Veritas. Shilla berfikir siapa sih cowok Veritas yang tidak kenal apalagi tidak mau numpangin Shilla kesekolah. Kesannya Shilla memang terlihat sombong, tapi itu ketika kalian baru pertama kali melihatnya namun setelah mengenalnya lama dijamin cap sombong kepada shilla akan punah dengan sendirinya. Itulah seperti pepatah “don’t judge the book by its cover”. Simpel memang.
“Hey! Stop!!!” Refleks Shilla berteriak menyetop motor Kawasaki ninja 250 cc berwarna merah itu, berhasil. Sang ninjapun berhenti tepat didepan Shilla.
“Lo anak Veritas kan gua nebeng ya mobil gue mogok tuh.” Seru Shilla tanpa titik koma menunjuk dimana mobilnya yang sedang diotak-atik pak Andi terparkir.
“Penting buat gue?” Shilla hanya bisa bengong melihat orang yang ada didepannya menolak permintaanya. Fikiran Shilla meleset memang, tidak semua siswa veritas mau numpangin sang putri.
“Alah muna lo! Siapa sih anak Veritas yang gak mau nebengin gue.” Cerca Shilla tak menyerah.
“Gue gak kenal ama lo!” seru si empu ninja sambil melepas helm merah yang serasi dengan motornya yang berwarna merah itu, dan oow ternyata si empu ninja tadi adalah Cakka. Shilla berdecak kagum juga pada ketampanan cowok sombong yang ada didepannya itu. Tanpa hilang akal Shilla langsung menaiki boncengan motor Cakka.
“Nama gue Shilla.” Bisik Shilla tepat ditelinga Cakka dengan suara lirih namun masih dapat terdengar. Bisikkan Shilla membuat aliran darah Cakka naik, degup jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Agar tidak terlihat seperti orang yang salting didepan Shilla, Cakka melajukan motornya dengan sangat kencang dan hampir membuat shilla terjatuh jika ia tidak segera berpegangan pada Cakka, nyaris saja.
Dalam hati Shilla mengutuk Cakka yang dengan sombongnya telah menolak memboncengi Shilla dan sekarang hampir membuat Shilla terjatuh. Jika ia tidak dalam posisi genting seperti ini, mungkin sudah ia maki-maki cowok yang sedang ia pegang itu. Hah??? Pegang?? @#$%^&*(
Dengan spontanitas Shilla langsung melepaskan pegangannya.
“Baru sadar lo?” Sindir Cakka.
“Keenakan ya lo! Jangan GR ya tadi!” Cibir Shilla menahan malunya. Cakka hanya tersenyum tipis mendengar ocehan-ocehan Shilla.
***
XI IPA 3 begitulah keterangan yang tertera melalui ukiran dari kayu yang terpampang diatas pintu sebuah ruangan. Dengan didampingi seorang guru wanita yang terlihat sangat galak dengan kacamata yang menghiasi wajah sangarnya, Cakka masuk kedalam ruang kelas tersebut.
Seluruh penghuni kelas XI IPA 3 yang menyadari kedatangan ibu Diana, guru yang mendampingi Cakka tadi langsung bergerak menuju tempat duduk masing-masing dan dengan sepersekian detik kemudian mereka telah duduk manis Karena takut akan kekilleran ibu Diana yang terkenal untuk tidak segan-segan menghukum muridnya yang tidak rapi dan disiplin itu.
“Eh..eh bukannya itu cowok tadi pagi yang boncengan ama Shilla ya.” Beberapa siswi rupanya menyadari akan kehadiran Cakka. Berkali-kali Cakka mendengar ocehan-ocehan siswi-siswi yang sedang membicarakannya. Namun tetap ia acuhkan dan menganggapnya seperti angin lalu. Ia hanya mengedarkan pandangannya ke seisi ruang kelas tersebut ketika ibu Diana berceloteh menceritakkan tentang dirinya, dan haap ia menemukan sosok bayangan yang rupanya sudah sedari tadi ia cari. Sosok itu juga ternyata sedang mengamati dirinya sambil tersenyum-senyum sendiri bak orang yang sedang jatuh cinta, Cakkapun hanya membalas senyumannya dengan senyum tipis setipis-tipisnya kertas.
“Baik, Cakka silahkan duduk. Cari tempat duduk yang kosong.” Perintah ibu Diana sambil menepuk bahu Cakka setelah bermenit-menit ia bicara tapi tak dihiraukan Cakka yang hanya asyik memperhatikan ruang kelas barunya itu.
Rio, sosok yang tadi berbalas  senyum dengan Cakka kemudian menggeser-geser bangku yang tepat berada disampingnya seperti memberi isyarat kepada Cakka ‘bro-sini-duduk-deket-gue’.
“Hey bro! akhirnya kita berjumpa lagi.” Teriak Rio kegirangan setelah Cakka menduduki bangku yang tadi ditunjuk Rio.
“Mario Stevano!” Tegur ibu Diana dengan mata lugasnya seperti siap menerkam mangsa.
Rio yang tersadar akan kehadiran Ibu Dianapun kembali tenang, sebelum ia dijatuhi hukuman oleh sang macan mungkin lebih baik ia diam dan kembali duduk manis lagi. Cakka yang melihat raut wajah kocak dari sang sahabat lamanyapun hanya terkikik geli menahan tawa, ia tak mau mendapat teguran dari sang macan seperti Rio.
***
“Gila deh Fy, banyak banget yang kirim mention ama bbm ke gue minta PJ.” Ujar Shilla kepada sahabatnya, Ify.
“PJ?! Alah lo Shil, jadian gak bilang—bilang gue. Ok Fine!” cibir Ify merengut sambil terus menyalin PR dari buku Shilla.
“ish.. gak nyambung lo Fy, makanya jangan sambil nyalin dong. Dengerin gue dulu!” Shilla menyambar buku PR miliknya yang sedang dipegang Ify.
“Ah rese lo! Tanggung nih bentar lagi.” Sungut Ify geram sambil berusaha menggapai buku PR Shilla yang kini tergenggam ditangan pemiliknya.
“Bodo..bodo.. haha.” Ejek Shilla sambil menjulur-julurkan lidahnya. Ditengah kegaduhan mereka berebut buku PR Shilla, datanglah Pricilla sembari berteriak-teriak memanggil Shilla dengan suara khas cemprengnya.
“Budek gue Priss dipanggil-panggil ama lo.” Teriak Shilla sambil menutup telinga dengan kedua tangannya, disaat seperti itu Ify langsung menyambar buku PR Shilla dan kembali menyalinnya.
“Sorry deh, oh iya katanya lo udah jadian ya ama anak baru itu. Eh, namanya Cakka.” Cerocos Pricilla menginterogasi Shilla.
“Gak.”
“Terus lo tadi pagi berangkat bareng ama dia kan?” Pricilla terus menanyai Shilla dengan pantang menyerahnya. Uuh dasar bigos! Prissy bigos bigos bigos!!  Rutuk Shilla dalam hati.
“Gue gak kenal dia Priss.” Jawab Shilla lebih lembut dari yang sebelumnya.
“Tapi..”
“Jadi gini, tadi pagi mobil gue mogok dijalan terus gak ada taxi yang lewat. Akhirnya gue nebeng ke dia.” Jelas Shilla memotong pembicaraan Pricilla. Pricilla yang dipotong pembicaraannya hanya mengangguk lemah tanda ia mengerti.
“Oow! Berarti masih ada kesempatan gue dong buat deketin dia.” Seru Pricilla dengan semangat ‘45nya sambil mengerlingkan mata.
“Bukannya lo udah punya Alfiano ya,” Ternyata bukan hanya risih ditanyai perihal hubungannya dengan Cakka, tapi juga Shilla sedikit tidak terima jika Cakka diembat Pricilla. Entah kenapa perasaannya merasa tak rela Pricilla berkata seperti itu.
“Apa salahnya nyoba.” Sungut Pricilla menggebu-gebu.
“Dasar maruk lo Priss!” Celetuk Ify yang masih tetap berkutat dengan proses menyalin PRnya.
“Biar. Wlee…” ejek Pricilla sambil menjulurkan lidahnya dan melesat pergi.
***
“Gimana bro sekolah gue? Keren kan?” Tanya Rio setelah menemani Cakka mengelilingi SMA Veritas yang lumayan besar.
“Sekolah gue juga kali.” Ralat Cakka.
“OK lah. Jadi gimana lo mau ikut ekstra apa?” Tanya Rio
“Basket.”
“Wuih, gila lo! Kita emang bener-bener sehati bro. gue juga ikut basket loh.” Teriak Rio kegirangan.
“Ga Tanya.” Canda Cakka cuek.
“O.” Balas Rio tak kalah cuek, tapi dari nadanya ia tampak dongkol dan kesal dicandai Cakka.
“Gak asik lo. Gitu aja ngambek! Oh iya lo tau Shilla gak?” Tanya Cakka sambil memasang mimik seriusnya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Karena menurutnya berdebat dengan Rio sama saja dengan melawan arah angin. Semakin kita lawan, maka akan semakin susah juga kita menghentikkan lajunya.
“Shilla disini banyak.”
“Yang cantik.”
Rio berpikir sejenak berusaha mengingat-ingat, tepat ketika ia mengingat-ingat nama Shilla, Pricilla lewat didepannya. Dan ahha! Ketemu juga.
“Sila? Pricilla mungkin maksud lo. Dia cantik bro!” tebak Rio penuh keyakinan dengan suara yang dipelankan takut terdengar oleh Pricilla yang masih dalam jarak dekat dari tempat mereka berada sekarang.
“Iya kali, gue minta pin BBnya dong.”
“Baru aja kemarin gue dapet.”
“Yaudah mana? Buruan.”
“Nih..” Rio menghadapkan layar ponselnya tepat didepan Cakka yang langsung dengan sigap mencatatnya.
***
From : Prissy
Look at my new DP sweety ;)

Shilla agak bergidik juga membaca kata terakhir sms yang baru ia dapat dari sepupunya, Pricilla. ‘sweety’ dia kira gua udah gak normal apa dipanggil sweety batin Shilla.
“Ih DPnya Prissy apa banget deh ama lo, kocak sumpah Shill.” Komentar Ify sambil terkekeh.
“Ini diambil pas ulang tahunnya papa.” Tanggap Shilla setelah melihat foto yang diperlihatkan Ify tadi sambil ikut terkekeh bersama Ify.
“Tapi lucu juga tau.” Lanjut Shilla sambil masih terkekeh bersama Ify melihat foto yang terpampang jelas dilayar ponsel Ify.
***
“Iya bener Yo, ini emang Shilla yang gua maksud.” Ujar Cakka kegirangan setelah melihat Display Profile dari Agatha Pricilla, orang yang ia kira sebagai Shilla yang tadi pagi ia antar kesekolah.
“Kalo udah dibantu bilang apa?” Tanya Rio menirukan gaya ibu-ibu yang sedang mengajari anaknya mengucapkan terimakasih.
“Thanks ya Yo. Lo emang sohib gua.”
“Traktirannya mana sayang?” Tanya Rio yang langsung dihujani lirikan tajam dan sinis dari Cakka.
“Peace bro!” sembari tangannya membentuk seperti huruf V. Rio dan Cakkapun lalu terkekeh dan tertawa gembira menikmati hidup, seperti tanpa beban. Dan benarlah, sahabat selalu menyiapkan sejuta cara untuk membuat hidup ini lebih indah, menyiapkan sejuta senyum untuk sahabat lainnya.
Bersambung..

No comments:

Post a Comment